Aksara Kehidupan

“Engkau adalah pena yang menuliskan cerita kehidupanmu sendiri.

Kaelany H.D. menyatakan: membaca bisa diartikan melihat, memperhatikan, memahami, dan menganalisis. Melihat apa yang tersurat dan memahami apa yang tersirat. Alam semesta ini dikembangkan Tuhan sebagai buku besar yang terhampar luas yang harus dibaca agar manusia dapat menerjemahkan untuk apa semua ini diciptakan, karena semua ciptaan Tuhan itu adalah pelajaran yang bisa dibaca oleh manusia. Itulah bacaan yang muncul dari rahim kehidupan.

Buku kehidupan merupakan pelajaran yang dapat dipetik di sekitar kita. Musibah tanah longsor di lingkungan kita bisa jadi akibat tindakan manusia melakukan penggundulan hutan atau penyedotan air tanah yang berlebihan. Dari fenomena ini kita dapat membaca bahwa cara-cara tidak baik, seperti penebangan liar, pembalakan hutan, dan penyedotan air tanah yang berlebihan dapat menyebabkan tanah menjadi “rapuh” dan longsor. Karena kita belajar dari “buku kehidupan”, upaya yang harus dilakukan adalah lebih arif terhadap Bumi, melakukan penanaman pohon dan menggunakan barang yang ramah lingkungan.

Semua kejadian adalah “bacaan” kehidupan agar manusia mampu berpikir dan berbuat baik. Semua bacaan tersebut tersirat, yang kaya makna pembelajaran.

Belum lagi jika kita lebih peka melihat bacaan kebesaran Ilahi dari proses kehidupan di Bumi ini. Ambil contoh, proses fotosintesis di mana Tuhan telah memperlihatkan “buku” kehidupan lainnya, yaitu “desain” yang mahadahsyat.

Tumbuh-tumbuhan menggunakan air, karbondioksida, dan cahaya matahari untuk kehidupan, lalu menyintesisnya menjadi oksigen dan glukosa. Karbondioksida yang diembuskan miliaran umat manusia digunakan lagi oleh tumbuhan untuk berfotosintesis. Kemudian sebaliknya, manusia memanfaatkan oksigen hasil fotosintesis untuk bernapas dan hidup. Bukankah ini buku pelajaran yang mahatinggi? Mengingatkan kita untuk seharusnya tetap merawat dengan baik tanaman di Bumi ini dan mensyukuri nikmat Tuhan.

Buku kehidupan lainnya yang memperlihatkan kebesaran Ilahi dapat kita lihat pada proses degradasi (penguraian) bahan organik oleh mikroorganisme di air maupun tanah. Limbah organik dari dedaunan, rumah tangga, dan makhluk hidup lainnya yang terbuang ke sungai atau tempat sembarangan; jika jumlahnya masih mampu “ditopang” oleh daya dukung lingkungan, maka ekosistem akan berjalan dengan semestinya. Ekosistem secara normal akan menyeimbangkan siklus ekologi yang ada. Karenanya secara alami limbah organik oleh bakteri akan diurai dengan sendirinya. Namun, akibat ulah manusia yang membuang limbah organik sembarangan bahkan cenderung melebihi daya dukung lingkungan tanpa dilakukan proses pengolahan, penjernihan, atau pemurnian maka lingkungan tidak akan mampu lagi mengurai limbah organik tersebut. Akhirnya terjadilah sungai yang kotor, bau, dan berwarna hitam, tidak layak untuk dikonsumsi.

Jika kita mampu memahami bahwa lingkungan pada suatu saat tidak akan mampu menerima limbah organik berlebihan, maka yang harus dilakukan manusia adalah “sadar” kebersihan dan menjaga agar limbah-limbah organik dapat diminimalisasi. Sehingga alam mampu menyeimbangkan dirinya sendiri.

Apalagi jika kita tidak peduli pada limbah anorganik (plastik, sterofoam, kaca, atau bahan kimia lainnya) yang sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Limbah anoganik ini akan menjadikan permasalahan bagi lingkungan jika kita tidak menyadari dan berupaya melakukan pengolahan terhadap material berbahaya tersebut. Itulah bacaan yang terlahir dari rahim kehidupan yang harus kita pelajari untuk menjadikan diri kita semakin arif.

Fenomena siklus air atau siklus hidrologi yaitu di mana air laut, danau, kali, atau air permukaan lainnya menguap menjadi awan, lalu mengalami presipitasi—menurunkan air hujan, salju, hujan rintik, ataupun hujan kabut. Lalu air hujan jatuh ke bumi dan meresap ke dalam tanah dan mengalir kembali ke lautan.

Begitulah seterusnya air mengalami siklus pergantian wujud, menandakan kebesaran Ilahi, yang dapat dibaca dari buku kehidupan dan juga dapat dibaca pada QS. 24: 43, “Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)-nya, kemudian menjadikannya bertumpuk-tumpuk, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.

Jika pada siklus hidrologi ini terjadi banjir ketika hujan turun, maka di sanalah kita harus dapat membaca “aksara alam”. Apakah kita tidak bersahabat dengan lingkungan? Apakah kita telah membuang sampah sembarangan? Apakah kita telah menebangi pohon sebagai taman penghijau? Apakah kita tidak membuat sumur-sumur resapan? Apakah kita tidak membuat saluran drainase yang baik? Tanda-tanda tidak bersahabatnya air ini sebenarnya dapat dibaca: dipahami, diartikan, dianalisis sebagai fenomena gagalnya kita mensyukuri nikmat dan kebesaran Tuhan, menjaga nikmat tersebut, dan menjadikannya berguna bagi banyak manusia.

Belajar dari Aksara Kehidupan

Buku adalah lembar kertas yang dijilid, berisi tulisan atau hanya lembar-lembaran kosong. Lembar buku kosong pada kehidupan ini tertulis dengan berbagai macam makna. Kita sendirilah yang menulis dan mengonstruksi rangkaian kata-kata dan menyusunnya menjadi bermakna baik atau sebaliknya berwajah buruk rupa. Perilaku kita adalah pena yang menuliskan pada buku kehidupan. Reputasi, kredibilitas, citra positif, nama baik adalah wajah ‘buku pribadi’ yang terjilid rapi dan tampak menarik. Namun tak sedikit dari kita yang menuliskannya ke dalam perilaku yang kurang baik, maka jadilah buku kehidupan yang menjadi berwajah buruk.

Bacaan Pengalaman

Kisah Lintang di tengah perjuangan hidup dalam kemiskinan, pada novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, menorehkan kesadaran akan pentingnya membaca.

Pesan yang dapat kita ambil dari tokoh  Lintang, “Belajar adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat dan kesulitan hidup. Buku baginya adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberikan kekuatan baru agar ia mampu mengayuh sepeda menentang angin setiap hari. Jika berhadapan dengan buku, ia akan terisap oleh kalimat ilmu yang dibacanya, tergoda oleh sayap-sayap kata yang diucapkan oleh para cerdik cendekia.”

Kecintaan Lintang akan buku dapat dibaca dari buku ini secara tekstual: huruf dan kata. Namun konteks yang lebih dalam lagi, bahwa perjuangan untuk mencapai hasil yang diidam-idamkan membutuhkan kerja keras dan ketekunan, yaitu dengan jalan belajar dan terus belajar. Tidak ada keberhasilan yang instan, butuh proses pembelajaran dari kegagalan dan keberhasilan, jadi kita merentang panjang konteks “pembelajaran” dan “membaca” sebagai bagian derap langkah kaki di setiap waktu, bahwa kita adalah “pena” yang menceritakan kehidupan diri sendiri. Jadi keberhasilan setiap perbuatan laku kita hari ini bisa dibaca dari hasil perjuangan yang panjang yang pernah kita ‘tulis’ setiap harinya di masa lalu, seperti anak-anak Belitong pada kisah Laskar Pelangi ini. Mereka tidak pernah menorehkan tinta ‘kelam’ dalam lembar-lembar kertas putih kehidupan. Selalulah membaca kebaikan. Buku akan berwajah menarik jika kita menuliskan cerita-cerita kehidupan yang baik: pikiran, tindakan dan perilaku yang membaikan.

Kisah nyata yang mencerminkan seorang Lintang adalah Ajip Rosidi, beliau adalah “bacaan pengalaman” yang kita dapati di Bumi Pertiwi. Sastrawan kelahiran Jatiwangi, Majalengka, pada tanggal 31 Januari 1938 ini telah menulis sejak remaja dan kini telah menerbitkan lebih dari seratus judul buku berupa kumpulan sajak, roman, drama, biografi, kumpulan esai, dan memoar.

Ajip Rosidi berujar, “Pendidikan formal saya rendah. Saya drop out dari Taman Madya (SMU).  Ketika hendak ujian penghabisan ia memutuskan untuk tidak mengikutinya karena pengaruh berita tentang bahan ujian yang bocor yang dibacanya dari surat kabar. Menurut berita tersebut orang mengeluarkan banyak uang untuk menyogok pejabat yang bersangkutan agar dapat memperoleh bahan ujian sebelum waktunya. Ajip Rosidi bekesimpulan, “Orang-orang tersebut menggantungkan hidupnya pada ijazah, untuk mendapatkan ijazah dia mau bermain curang serta mengeluarkan uang.” Akhirnya, ia memutuskan untuk tidak mengikuti ujian dan ingin membuktikan bisa hidup tanpa ijazah.

Untuk membuktikan hal tersebut, Ajip Rosidi berusaha membaca buku sebanyak-banyaknya, lebih daripada yang dibaca oleh mereka yang bersekolah.

“Saya yakin kalau saya memperlihatkan prestasi sebagai hasil bacaan saya, saya takkan kesulitan dalam hidup.” Ini terbukti, sampai akhirnya ia pensiun sebagai guru besar tamu di Jepang. Seumur hidupnya, Ia tidak pernah melamar pekerjaan, pekerjaanlah yang menawarinya.

Untuk membaca buku, Ajip Rosidi selalu merasa membutuhkan waktu. Ia suka mengoleksi banyak buku, baginya tidak masalah jika buku-buku tersebut belum sempat terbaca semua hingga akhir hayatnya karena memang waktunya juga disibukkan dengan pekerjaan di luar membaca. Ia bangga memiliki koleksi buku yang cukup bervariasi.

Lain lagi dengan motivator nomor 1 Indonesia ini, Andrie Wongso, ia memiliki gelar SDTT (sekolah dasar tidak tamat). Label ini yang sering disampaikannya untuk memotivasi banyak orang.

Bukan berarti mengajak Anda untuk tidak perlu bersekolah, pesan beliau adalah pendidikan formal bukanlah satu-satunya jalan untuk berhasil. Kegagalan menempuh pendidikan formal, “dibalasnya” dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk belajar sepanjang hidup.

Kita boleh miskin materi, dan sulit untuk menempuh pendidikan formal, namun tetap harus kaya semangat. Baginya, “Buku adalah investasi yang tiada habis dan tak ternilai harganya. Buku juga bisa mengubah nasib seseorang yang siap belajar dan mau berubah.” Ia sendiri mengalaminya. “Karena buku, nasib saya berubah. Dengan pendidikan formal yang sangat minim, saya sangat sadar, saya harus belajar, belajar, dan belajar. Selama lebih dari 20 tahun, saya secara konsisten: tiada hari tanpa membaca.”

Andrie Wongso menyarankan, “Siapkan waktu untuk belajar, terutama membaca buku. Coba bayangkan jika satu bulan kita membaca dua buku, minimal satu tahun telah terbaca 24 buku. Kalau lima tahun kita membaca buku-buku yang kita cintai, senangi, dan buku tersebut cocok dengan bidang kita, pasti lima tahun kemudian kita bisa menjadi seorang ahli dan kaya mental, kaya pengetahuan. Tentunya ilmu yang kita serap kalau kita mampu tidak sekadar mengumpulkan teori tetapi mempraktikkannya, yakinlah kehidupan kita ke depan maju LUAR BIASA.” Baginya, “Hidup adalah proses belajar dan berjuang tanpa batas! Kita bisa belajar dari setiap orang: orang sukses, orang gagal, bahkan diri sendiri. Kita pun bisa belajar dari buku, jendela dunia. Seraplah ilmu dari buku-buku yang ditulis oleh para ahli! Pepatah mengatakan, orang miskin, karena buku menjadi kaya; orang kaya, karena buku menjadi anggun.”

Seorang budayawan, Emha Ainun Najib, lebih akrab dengan panggilan Cak Nun, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; adalah seorang tokoh intelektual yang mengusung napas Islami di Indonesia. Pendidikan formalnya hanya berakhir di semester I Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Darussalam Gontor karena melakukan ‘demo’ melawan pemimpin pondok karena sistem pondok yang kurang baik pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogyakarta dan tamat SMA Muhammadiyah I.

Sembari lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta, tahun 1970-1975, ia belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha.

Sekolah formal bukanlah satu-satunya tempat belajar. “Kehidupan” adalah ruang belajar yang sesungguhnya. Emha suka membaca dan menulis. Sehingga walaupun tidak memiliki izajah formal yang tinggi, Emha tetap rajin menimba ilmu. Ini dibuktikan dengan mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Cak Nun dalam buku tulisan Agus Ahmad Safei berjudul Negeri yang Malang mengatakan, “Kutu-kutu lebih rajin membaca buku dibanding mahasiswa, juga dosen-dosennya. Perpustakaan bekerja amat santai, bahkan ada hari ketika perpustakaan nganggur sama sekali. Mahasiswa hanya menjadi konsumen komoditas eceran di pasar ilmu. Waktu ke pasar, mereka cukup membawa kantung telinga, otaknya disimpan di dalam almari besi.”

Belajar dari buku kehidupan milik sendiri atau yang tertulis oleh orang lain dapat dijadikan bahan renungan dan introspeksi diri untuk mampu menyusun buku-buku kehidupan diri yang lebih baik.

Kisah para tokoh sukses adalah pelajaran buku kehidupan yang dapat dijadikan referensi diri, bagaimana mereka mencapai kesuksesan tersebut. Perilaku generik bernilai positif yang dilakukan tokoh sukses pastilah perilaku-perilaku yang baik rupa. Tidak ada satu pun perilaku tokoh sukses yang bernilai negatif dan buruk. Jika pun ada sisi negatifnya itu adalah kewajaran sebagaimana kehidupan ini tidak sempurna. Serupa buku tekstual (buku pelajaran arti sesungguhnya) yang tidak semua kata-kata yang tertulis itu tersusun rapi dan enak dibaca; ada saja beberapa kata yang konstruksi gramatikalnya salah atau sekadar salah tulis. Itu juga yang terjadi pada buku kehidupan orang sukses, ada saja perilaku yang berwajah buram sebagai sisi lain kehidupan. Pelajarannya adalah buku yang terlahir dari rahim pengalaman tokoh sukses dapat dijadikan contoh baik bagi diri untuk menyerap perilaku positif untuk diri sendiri.

Wajah Buram Buku Kehidupan

Perilaku kita adalah aksara dalam menyusun buku kehidupan. Jika kita menelisik kehidupan buruk rupa, maka kita dapat belajar darinya. Aksara kehidupan yang terbaca, terlihat, dan terdengar dari pengalaman kehidupan memiliki makna pembelajaran, bahwa perilaku buruk adalah juga bacaan buruk jika dilakukan dan dicontohkan dalam diri kita sendiri.

Kasus-kasus bacaan kehidupan berwajah buruk, seperti pesta narkoba, minuman keras, seks bebas, korupsi, dan wajah “aksara” negatif lainnya merupakan referensi bacaan yang harus diketahui bahwa ia juga harus dijauhi.

Dalam aksara tekstual (tulisan sebenarnya), pada buku-buku pelajaran, bahwa narkotika, obat-obatan terlarang, minuman keras, korupsi, dan sederet perilaku negatif telah tertulis sebagai bahan-bahan terlarang dan gugur moral. Seyogianya bacaan tersebut dapat dikonstruksikan sebagai hal negatif dan tidak boleh ditulis dalam bacaan kehidupan.

Banyak kasus perilaku negatif ataupun positif sebagai bacaan kehidupan memperlihatkan apa yang kita torehkan dalam buku kehidupan bagi diri sendiri. Menjadikan buku kehidupan berwajah buram atau sebaliknya, tampak lusuh atau indah untuk dibaca; kitalah yang menulisnya. Tulislah lembar kosong pada buku-buku kehidupan dengan perilaku yang membaikkan, aksara yang nantinya dapat terbaca sebagai bacaan yang indah bagi siapa pun yang membacanya. Buku kehidupan yang tetap enak terbaca hingga raga meninggalkan jiwa.

Setiap pengalaman yang tidak dinilai baik oleh dirinya sendiri ataupun orang lain akan tinggal menjadi sesobek kertas dari buku hidup yang tidak punya makna. Padahal setiap pengalaman tak lain daripada fondasi kehidupan.” ~Pramoedya Ananta Toer