Antoni Ludfi Arifin
“A happy workforce makes for a more successful and productive team.” —Richard Branson
Saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan, kemudian dilanjutkan dengan PSBB transisi, dari arah perempatan Jalan R. Suprapto saya sering menggunakan ruas Jalan Garuda untuk menghindari kemacetan di underpass Senen. Padahal, arah Jalan Bungur Besar ke Jalan Hayam Wuruk merupakan ruas jalan ganjil genap. Karena kondisi Covid-19, aturan ganjil genap tidak diberlakukan lagi.
Di jalan Garuda ini, saya sering melihat mobil boks ekspedisi bertuliskan Connecting Happiness. Frasa ini mengingatkan saya pada sebuah merek ponsel yang top of mind pada 2000-an, yaitu Nokia dengan tagline “Connecting People”. Di masa tersebut, 9 dari 10 orang pengguna ponsel menggenggam merek Nokia yang user friendly itu. Setelah saya perhatikan, Connecting Happiness tersebut merupakan value proposition JNE, sebuah perusahaan ekspedisi terkemuka di Indonesia.
Proposisi nilai Connecting Happiness itu menggelitik ingatan saya kembali ke pengalaman saya sebagai praktisi dan akademikus SDM, terutama sebagai akademikus yang mengampu mata kuliah leadership dan praktisi SDM. Saya berpikir: “Oh, alangkah indahnya jika para HR leader itu juga memiliki preposisi nilai yang sama: Connecting Happiness.” HR leader, terutama mereka yang berada pada level middle management, haruslah menjadi konektor antara subordinat dan atasannya yang menyenangkan. Visi JNE adalah menjadi perusahaan rantai pasok global terdepan di dunia dengan misi untuk memberi pengalaman terbaik kepada pelanggan secara konsisten. Visi dan misi ini kemudian diterjemahkan JNE melalui nilai perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, dan visioner. Connecting Happiness atau menghantarkan kebahagiaan merupakan semangat yang dijalankan untuk memberikan layanan unggul kepada pelanggan.
Di samping itu, JNE juga menjalankan berbagai program yang memberikan manfaat. Jadi, JNE mencoba mengoneksikan, secara internal, memberikan layanan terbaik yang memuaskan pelanggan—eksternal. Sejenak coba kita kaitkan antara Connecting Happiness, harapan—values proposition-nya JNE—dengan dunia SDM, terutama leadership.
Alangkah idealnya jika orang SDM juga memiliki values proposition yang sama. Connecting Happiness itu memuaskan atasan dan juga subordinat di bawahnya. Di samping memuaskan departemen SDM-nya sendiri, ini juga mampu memberikan layanan ke departemen lainnya—sebagai departemen pendukung.
Selama ini, orang SDM dan HR Leader menjadi bumper pemilik (owner) perusahaan/direksi dengan para karyawan, bahkan serikat pekerja. Dari sisi atasan, direksi/owner begitu over expectation—menaruh banyak harapan.
Sebaliknya, di bawah, karyawan begitu banyak demanding—tuntutan. Jadi, departemen SDM pada posisi yang terjepit seperti sandwich—pusing, stres, terjepit, dan penuh tekanan dari kanan, kiri, atas, dan bawah.
Sense of people
Departemen SDM sebagai pihak yang terjepit harusnya mengambil positioning yang tepat, bukan sebagai bumper tetapi sebagai connector.
Mereka menghubungkan harapan karyawan untuk masa depan karier yang cemerlang, penghasilan lebih baik, atau lingkungan kerja yang menyenangkan. Mereka juga memperhatikan harapan pemilik (owner) dan direksi agar mendapatkan keuntungan finansial yang semakin bertumbuh setiap tahunnya.
Oleh karena itu, departemen SDM harus dapat menghantarkan kebahagiaan kepada kedua belah
pihak, direksi/owner dan karyawan. Oleh sebab itu, orang SDM harus menjadi harapan (HOPE)
bagi kedua-duanya, bahkan mampu berkolaborasi dengan semua departemen di unit kerja lainnya. Orang HR harus mampu menjembatani kepentingan berbagai pihak. Orang SDM bukan
perpanjangan kepentingan manajemen dan juga tidak berpihak ke karyawan. Setidaknya, agar connecting happiness terwujud, departemen SDM harus memberi HOPE kepada keduanya, berupa:
Pertama, Helping others. SDM Club, HR Member, dan puluhan klub SDM lainnnya yang tergabung dalam komunitas grup WhatsApp, Telegram, e-mail, dan lainnya adalah komunitas yang membuat kita bertumbuh: belajar dan berbagi. Begitupun saya, senang rasanya bergabung dengan teman-teman SDM yang bisa saling bertukar informasi.
Di tengah-tengah keanggotaan tersebut, sahsah saja bila beberapa pemilik klub ada yang berupaya untuk “menjual” produk-prooduk pelatihan, konsultasi, dan bisnis lainnya. Terjadi mekanisme “pasar” di klub. Ada penjual jasa pelatihan dan ada anggota sebagai target pembeli. Sebagai praktisi SDM, saya sering memanfaatkan program pelatihan yang ditawarkan klub-klub
tersebut, dengan mengirim anggota staf, karena berbiaya murah.
Penasaran menekuni membership ini, saya dan salah satu rekan: Antaiwan Bowo P, membuat SDM Cendekia, komunitas praktisi dan akademikus SDM. Tujuannya adalah sharing knowledge secara virtual dan sesekali meet up di salah satu hotel dengan mengundang praktisi dan akademikus sebagai pembicara. Komunitas SDM Cendekia sudah memasuki usia dua tahun. Sudah dua buku diluncurkan dalam bentuk antologi artikel yang ditulis oleh para praktisi—idenya agar tacit knowledge di setiap kita bisa di-sharing kepada lainnya. Jika Anda berpengalaman sebagai praktisi HR, sharing dapat dilakukan dengan mendaulat Anda sebagai pembicara ataupun menuangkan secara bersama-sama ide pikiran Anda ke dalam buku. HR As a Credible Business Partner dan The Secret to Millennial Engagement adalah dua buku yang sudah disumbangkan SDM Cendekia dan diterbitkan oleh Gramedia. Idenya lagi-lagi tidak untuk
berjualan jasa pelatihan. Idenya adalah untuk cultivate knowledge dan bertumbuh bersama, berbagi ilmu, dan meningkatkan silaturahmi anggota. Sesuai nilai SDM Cendekia untuk berbagi: I SHARE (Innovative, Synergy, Honest, Agility to Learn, Respect, dan Eco-Added).
SDM Cendekia pun terkadang mengemas meet up ke anggota dengan menawarkan harga workshop/seminar berbayar, men-delivery acara secara baik, dan memberikan jasa— profesionalitas kepada pembicara yang diundang. Bahkan terkadang juga, ada pesan masuk di WA saya untuk diundang sebagai pembicara atau konsultan.
Sebagai praktisi SDM, helping others—membantu teman sejawat, rekan kerja, karyawan di departemen lain, dalam program pengembangan diri dan karier—menjadi nilai (values) yang harusnya terinternalisasi dengan baik dalam diri insan SDM. Wujud helping others para praktisi
SDM ini bisa berupa menjadi partner unit kerja lain dalam mencapai tujuan organisasi. Dave Ulrich (HR Guru & Penulis Buku ) menyatakan HR harus menjadi strategic business partner yang
diharapkan mampu mendukung pencapaian sasaran organisasi.
SDM sebagai partner strategis harus mampu menyelaraskan strategi korporasi dengan eksekusi
program SDM yang memberikan manfaat dan keberhasilan bagi organisasi. Orang HR dituntut untuk berkontribusi terhadap target pencapaian perusahaan dalam bentuk program kerja suportif ke semua departemen lainnya.
Kedua, Optimize. Orang SDM harus mampu berpikir positif dan optimistis terhadap tantangan dan peluang yang dihadapi. Pada masa pandemic Covid-19 sekarang, banyak hal bisa dilakukan
oleh orang SDM agar mampu menjalankan program kerja dengan disesuaikan dalam kondisi ini. Mau tidak mau, kondisi ini harus mengubah cara kerja orang SDM, setidaknya mulai dari proses perekrutan, psikotes, interview, training, meeting, dan bekerja berbasis daring (online) sudah harus dikembangkan oleh orang SDM.
Orang SDM setidaknya memiliki keyakinan atas segala sesuatu—baik kondisi buruk sekalipun—
menjadi hal baik dan menyenangkan. Orang SDM dituntut selalu mempunyai harapan baik dalam segala hal, tak terkecuali dalam kondisi pandemi Covid-19 ini.
Ketiga, Positive Relationship. Sebagai praktisi HR, kita dituntut untuk membangun hubungan baik dengan pemangku kepentingan (atasan, subordinat, rekan kerja, mitra kerja, dan lainnya); berkolaborasi dengan mereka untuk menyinergikan program kerja dan pencapaian lebih baik.
Keempat, Empathic. Empati adalah kemampuan orang HR untuk merasakan perasaan atau pikiran orang lain. Sebagai partner departemen/unit kerja lain, kepekaan hati dan pikiran inilah yang dibutuhkan agar mampu memberikan dukungan dalam pencapaian sasaran organisasi.