Dr. Antoni Ludfi Arifin
https://ebooks.gramedia.com/id/buku/hr-as-a-credible-business-partner
“Calling something feedback doesn’t make it feedback if it’s judgemental, it’s criticism.” —JK Smart
Ardi, seorang direktur human capital (HC) salah satu perusahaan, sedang memimpin rapat. Rapat dihadiri oleh seorang GM HC, manajer umum, manajer perencanaan SDM, manajer pengembangan SDM, manajer kompensasi dan benefit, manajer corporate culture. Rapat sudah dimulai sejak 30 menit yang lalu, tetapi saat 30 menit acara berlangsung, muncul seorang peserta yang terlambat. Sebut saja, Wirendra, manajer kepatuhan.
Wirendra mengetuk pintu dan mendorongnya untuk membuka pintu ruang rapat tersebut, sembari berkata: “Selamat pagi semua, mohon maaf saya terlambat.” Seluruh peserta rapat menjawab, secara bersamaan: “Selamat pagi, Pak Wirendra.”
Wirendra pun bergegas meraih punggung kursi, ditarik ke belakang, untuk didudukinya. Ia duduk, dan sejenak menarik napas sambil menatap ke arah Pak Ardi yang sedang memimpin rapat membahas agenda crafting habit dan building culture. Rencananya, perusahaan ini akan mengundang konsultan untuk membenahi budaya perusahaan. Melihat apakah ada toksik budaya (entropi budaya) di organisasi ini.
Di luar gedung hujan lebat, langit Jakarta masih hitam pekat. Walaupun sudah lewat pukul delapan pagi, dari lantai 16 gedung, masih tampak seperti gelapnya pagi hari.
Udara ruangan terasa sangat dingin, tetapi tidak di hati Wirendra. Ia mengambil botol air mineral dan menuangkannya ke sebuah gelas dan meminumnya untuk membasahi tenggorokannya kering.
Wirendra sejak minggu lalu berniat memohon izin untuk mengundurkan diri. Ia merasa tidak nyaman dengan atasan, walaupun sudah lima tahun bergabung dengan lingkungan kerjanya saat ini.
“Prak”, terdengar suara keras. Semua menatap ke arah Pak Ardi yang dengan keras memukul meja di hadapannya, seraya berkata, “Bapak dan ibu semua, saya tidak senang apabila ada peserta meeting yang terlambat. Bagaimana mungkin kita bisa mengelola perusahaan dengan jumlah ribuan orang, jika di level manajerial saja tidak bisa tepat waktu? Tidak disiplin!”
Wirendra pun terdiam. Semua peserta rapat menundukkan kepala. Namun, sang direktur terus melampiaskan amarahnya.
“Perlu Anda semua ketahui, Pak Wirendra ini tidak hanya terlambat. Namun, ia juga sering tidak patuh dan complied pada regulasi dan kebijakan, padahal ia sendiri adalah seorang manajer kepatuhan,” kata Pak Ardi dengan suara yang semakin meninggi.
Wirendra semakin menunduk, ruangan terasa dingin. Ia kembali meraih gelas dan meneguk air mineral.
“Tiga hari yang lalu, saya mintakan ke Pak Wirendra agar timnya mengkaji dan memperbarui code of conduct perusahaan, dan disiapkan kemarin sore, untuk dibahas pada agenda meeting kita pagi ini,” suara Pak Ardi tetap meninggi. “Mana hasilnya?” Pak Ardi meminta.
“Bagaimana kita bisa membangun budaya disiplin, sesuai value organisasi kita, jika di level Anda semua saja tidak disiplin?” Pak Ardi kembali memukul meja, “prakk!”.
Semua terdiam, Wirendra pun mulai angkat bicara. “Pak Ardi yang baik. Mulai hari ini, saya mengajukan pengunduran diri. Suratnya akan menyusul sesuai peraturan perusahaan, one month notice,” dan ruang rapat pun sunyi.
Pak Ardi sebagai direktur HC bukanlah orang yang tidak berpengalaman di dunia SDM. Ia memiliki kompetensi teknis yang luar biasa. Paham sekali soal-soal SDM, sejak perekrutan hingga hubungan industrial. Tak sedikit sertifikat yang ia miliki di bidang SDM, baik lokal maupun internasional. Begitupun Pak Wirendra sebagai manajer kepatuhan, beliau lulus sarjana hukum, dan paham sekali soal peraturan dan perundang-undangan yang harus diikuti.
Di manakah titik lemah dari kedua kompetisi para pemimpin SDM ini? Adakah kompetensi teknis (functional competencies) atau sesuatu yang sifatnya behavior competencies? Yaitu, bagaimana cara memberikan umpan balik (feedback). Apakah delivering feedback ini merupakan kompetensi yang harus dimiliki seorang leader?
Seorang leader/manajer dalam aktivitas kerja sehari-hari harus memberikan umpan balik (feedback) kepada bawahannya. Umpan balik ini dapat berupa umpan balik positif: sanjungan, pujian, atau kata-kata magis yang memberdayakan ataupun kritik konstruktif, kedua-duanya dibutuhkan secara seimbang. Namun, mampukah seorang pemimpin dengan bijak menggunakan kedua hal tersebut, kritik dan pujian secara seimbang dan objektif?
Berikan Narrative-Rich yang Memberdayakan
Kejadian menjengkelkan dan menyenangkan sering dialami oleh seorang leader dengan bawahannya. Kejadian menyenangkan dan mengecewakan tersebut harus dikelola dengan baik.
Ketika pekerjaan bawahan dilihat, dirasakan, dan dinilai baik, berikanlah ujaran positif dan katakata yang menguatkan, memberdayakan, atau mengakui mereka agar dihargai pekerjaannya. Ucapan, “Terima kasih, Pak Wirendra, Bapak sudah memberikan laporan tepat waktu sore ini. Saya akan pelajari untuk bahan rapat kita esok pagi.” atau, “Saya sangat senang dengan upaya Bapak mendukung usaha ini dengan sepenuh hati.”
Begitupun perilaku, pekerjaan, dan interaksi leader dengan bawahan yang tidak menyenangkan; juga harus diberikan narasi positif yang juga memberdayakan, bukan melemahkan.
Umpan balik haruslah objektif, nyata, dan merupakan pengamatan langsung oleh leader, bukan dari cerita orang lain. Apa yang dirasakan Pak Ardi, Pak Wirendra, dan peserta rapat yang mendengar umpan balik sang direktur tadi? Ada kepala tertunduk, emosi meninggi, rasa malu, dan rasa direndahkan di depan khalayak ramai.
Bagaimana perasaan Wirendra “dimarahi” di depan forum? Apakah ia malu, jengkel, dan merasa direndahkan? Bagaimana perasaan orang lain di rapat tersebut yang mendengarkan? Semua tidak saling menguntungkan dalam suasana tersebut, dan akhirnya resign. Hal ini bukanlah sesuatu yang diinginkan, bukan?
Beberapa hal yang harus diperhatikan para pemimpin dalam memberikan umpan balik adalah:
- Jika umpan balik bersifat positif, yaitu atas pencapaian kinerja karyawan, berikan sanjungan di depan umum. Saran konstruktif harus diberikan secara empat mata. Hal ini untuk memberikan apresiasi yang memberdayakan di depan umum untuk capaian positif. Sebaliknya, umpan balik berupa kritik konstruktif diberikan di ruang tertutup untuk menghindari rasa malu.
- Berfokus pada pekerjaan yang dilakukan, bukan pada fisik atau kepribadian bawahan. Datang terlambat, tidak disiplin, dan telat membuat laporan, misalnya, adalah perilaku kerja. Ini bukan hal-hal pribadi bawahan.
- Situasi dan permasalahannya jelas dan spesifik. Jika membahas soal progres laporan yang telat diberikan, cukup berfokus pada masalah tersebut, hindari hal lain yang tidak terkait.
- Tetap tenang dan jangan marah. Marah dan kesal tidaklah menyelesaikan permasalahan. Berikan masukan dengan kepala dingin dan hati yang tenang. Amarah hanya akan melukai hati bawahan dan menurunkan simpati serta reputasi atasan yang sering marah-marah.
- Tegaskan harapan bahwa umpan balik yang diberikan bermanfaat untuk perusahaan, bawahan, dan juga Anda sebagai atasan. Tujuannya adalah memberikan apresiasi, yaitu umpan balik positif dan masukan konstruktif, bukan untuk mencari-cari kejelekan bawahan.