Dr. Antoni Ludfi Arifin
“Tidak akan hidup sebuah karangan yang ditulis sekadar mencari uang.”
~Imam Al Ghazali
Matahari telah menepi. Kilau sepuh emasnya sore itu perlahan tergantikan awan berarak hitam, menandakan hari akan berganti malam. Kehadiran awan mendung mengisyaratkan datangnya hujan. Kulihat di langit, awan hitam itu masih teguh, antara rela dan tidak untuk membasuhi bumi, biarpun tampak sesekali rinai-rinai gerimis jatuh, yang antara enggan atau ikhlas menjadikan sore berhujan lebat dan membasahi jalan-jalan.
Jika hujan tiba, pikirku, pastinya mobil-motor mengular panjang memaceti jalan-jalan Jakarta di mana sebagian pekerja kembali ke pinggiran Jakarta.
Sembari kutatap langit mendung itu, pintaku, “Tuhan, hujan boleh jatuh, namun kumohon bersabar sampai aku tiba di rumah saja nanti.” Saat ini aku sedang asyik menyelesaikan obrolan dengan seorang sahabat.
Sore telah direbut malam, menemani pertemuanku dengan sahabat, Yudi Pramuko, penulis buku. Pertemuan ini telah meneguhkanku bahwa dalam hidup kita harus berbuat baik dan bermanfaat bagi orang lain. Saat itulah Yudi menguatkanku untuk membangun kata-kata, mengonstruksinya menjadi tulisan. “Supaya setidaknya punya satu karya tulis yang bisa dikenang, bukan hanya batu nisan, tetapi juga ada buku yang ditinggalkan setelah kematian menjemput nanti,” terangnya. “Itulah amal pasif. Setidaknya, Tuhan bisa menerimanya sebagai ibadah, walaupun mungkin saja tulisan itu tidak sempurna. Yang terpenting ada keinginan untuk menulis,” pesannya kuat sore itu.
Amalan pasif, kata yang kuingat untuk meneguhkan usahaku untuk menulis. Banyak orang saat ini mencari penghasilan pasif, kerja mencari “downline”, berwirausaha, bahkan kerja kantoran lainnya: yang penting ada fulus aktif dan pasif. Namun, jarang yang berpikir untuk mencari amalan pasif.
Sejatinya menulis itu adalah berbagi ilmu, informasi, ide, gagasan, ataupun pesan-pesan moral yang penuh tumpat di kepala kita kepada orang lain. Di dalamnya ada spirit berbagi agar ilmu tersebut menjadi sumur-sumur jernih bermanfaat untuk melepas dahaga banyak orang dan setidaknya dapat menjernihkan noda-noda keegoan. Dengan ilmu, setidaknya kita menjadi lebih arif, seperti falsafah padi: semakin berisi semakin merunduk.
Dari peneguhan ini, setidaknya kuniatkan saja untuk mencari amalan pasif dengan membuat tulisan, yang mungkin bermanfaat bagi orang yang membaca. “Setiap dibaca mudah-mudahan ada sebagian pesan yang bermanfaat bagi orang lain,” jika boleh ”meminta” kepada Tuhan: “Ya buat tambah-tambah amalan kita di akhirat nanti, masak Tuhan enggak mau kasih,” pikirku.
Di sinilah pentingnya niat menetapkan tujuan jangka panjang untuk dijadikan pegangan bahwa menulis buku itu tujuannya untuk kebaikan: ibadah. Jikapun ada bonus tambahan lain yang didapat, seperti beken dan mendapatkan penghasilan dari royalti, itu merupakan buah investasi jangka panjang (long term investation) untuk memberikan kebaikan. Meneguhkan diri menjadi penulis setidaknya bermanfaat untuk:
- Tetap menjaga diri menjadi orang baik karena ketika seseorang sudah meniatkan diri untuk menjadi penulis, setidaknya ia akan menjaga perilaku agar tetap amanah, seamanah pesan-pesan yang disampaikannya dalam tulisan. Seperti kutipan berikut: “Engkau adalah pena yang menuliskan cerita kehidupanmu sendiri.”
- Konsistensi hidup: antara ucapan, tulisan, dan perilaku agar tetap on the track. Sama apa yang diucap dengan apa yang dituliskan dan akhirnya, berperilaku sama dengan apa yang telah diucap dan dituliskan. Arvan Pradiansyah, seorang happiness inspirator dan penulis buku best seller, The 7 Laws of Happiness, adalah orang pertama yang mempraktikkan kebahagiaan di setiap detik kehidupannya.
- Beken, setidaknya bila tulisan sudah diterbitkan, jejak-jejak buku dan penulis bisa ditelusuri. Dengan karya penulisan, baik buku, artikel, opini, atau jurnal dapat membuat seorang penulis menjadi populer dan dipandang memiliki citra diri yang baik.
- Ilmu bertambah; penulis dalam proses penulisan pastinya memperkaya penulisan melalui upaya membaca sumber-sumber buku referensi yang dibutuhkan. Ini akan menambah pengetahuan penulis itu sendiri. Membaca merupakan jendela ilmu, banyak informasi dan pengetahuan yang didapatkan dari hasil membaca. Dengan membaca, ilmu bertambah dan kita bisa memperkaya isi tulisan.
- Penghasilan tambahan dari royalti yang didapat. Seorang penulis buku akan mendapatkan royalti berkisar 10–15% dari jumlah buku yang terjual. Untuk penulisan artikel lepas, honor yang didapat sebesar Rp300.000 sampai Rp1.500.000
- Hal terpenting lain adalah amal pasif dengan berbagi ilmu kepada pembaca. Di sinilah ilmu yang dibagi pada tulisan terus dapat dibaca, dipelajari, dan bermanfaat bagi banyak orang. Insya Allah, amal pun bertambah.
Bicara soal amal pasif, jika Anda penikmat sastra, masih ingatkah dengan karya sastrawan lama Indonesia? Kenang saja novel sastra klasik terbitan Balai Pustaka, Sitti Nurbaya yang ditulis Marah Rusli. Diterbitkan pertama kali tahun 1922 dan telah difilmkan, karya ini menjadi novel Balai Pustaka yang paling populer, menyinggung soal-soal kolonialisme dan kawin paksa. Karya lain namun dalam bentuk cerpen yang tidak kalah populernya ditulis AA. Navis pada tahun 1956, diterbitkan Gramedia, yaitu Robohnya Surau Kami. Karya tersebut juga banyak dicari di perpustakaan-perpustakaan dan sudah difilmkan. Aku sendiri, ketika membaca cerpen ini cukup “tercambuk” karena kritik sosio-religinya kala itu. Indonesia dikisahkan kaya raya, namun anak bangsanya masih saja ‘berkelahi”. Pesannya “Kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua? Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku berikau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beribadat kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja? Tidak….”
Menyelisik sastra modern, munculnya penulis Ayat-ayat Cinta, Habiburrhaman El-Syirazi, mengusung pesan religi, etika, dakwah, dan cinta yang dikemas sebagai novel pembangun jiwa; lalu Andrea Hirata dengan “Laskar Pelangi”, menceritakan perjuangan anak-anak Belitong, yang berkeinginan kuat untuk sekolah dan maju.
Tulisan novel Marah Rusli, AA. Navis, Habiburrhaman El-Syirazi, dan Andrea Hirata telah dibaca puluhan bahkan jutaan orang. Bukankah pesan nilai budaya, sosial, religi, dan motivasi yang terkandung dari keempat novel tersebut bermanfaat bagi pembaca? Bukankah kebaikan tersebut bernilai ibadah?
Tengok juga tulisan-tulisan nonfiksi, mari kita lihat rekam tulisan Robert S. Kaplan, seorang profesor dari Harvard Business School dan David P. Norton, presiden dari Balanced Scorecard Collaborative/Palladium.
Mereka melakukan riset tentang pengukuran kinerja perusahaan melalui empat perspektif, yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis, dan pertumbuhan dan pembelajaran. Berdasarkan riset tersebut, Kaplan dan Norton lalu menulis buku Translating Strategy into Action: Balanced Scorecard. Strategi kartu keseimbangan (balanced scorecard) ini terus-menerus hingga kini dipakai ribuan atau bahkan jutaan perusahaan di seluruh dunia, untuk menjaga keberlangsungan bisnis perusahaan dan menetapkan kinerja perusahaan sampai ke tingkat karyawan. Bukankah tulisan Kaplan dan Norton ini bermanfaat dan bernilai ibadah? Buku Balanced Scorecard ini banyak dirujuk tidak hanya oleh perusahaan-perusahaan, tetapi juga mereka yang melakukan penelitian di kampus-kampus seantero dunia.
Pesan yang berisi nilai-nilai motivasi, moralitas, perjuangan, religi, dan ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam karya tulis adalah jalan kebaikan, “dakwah” yang berkepanjangan, dan abadi. Inilah nilai pasif amal dari sebuah karya tulis yang terus dibaca.
Hujan tak kunjung datang. Arak-arakan awan gelap itu telah menyempatkan bintang untuk menerangi malam, menemani tekadku yang sudah penuh. Kulihat langit benderang, walau hari sudah malam. Kuakhiri pembicaraan dengan sahabatku, Yudi, saatnya kupulang dan meneguhkan hati untuk menulis buku, minimal satu kali dalam hidupku.