Senin dan Selasa,13 dan 14 Juli 2020, dua hari itu kami para kepala divisi (kadiv) melakukan tes assessment yang dipandu oleh salah satu konsultan ternama.
Asesmen ini bertujuan untuk melihat kesiapan para kadiv dalam menjalankan tugas, menilai kompetensi kepemimpinan saat ini, apakah fit dengan jabatan yang akan diemban dan rencana perusahaan yang akan merestrukturisasi organisasi yang lebih agile menghadapi new normal (penyesuaian pascapandemi Covid-19).
Karena kebijakan pembatasan sosial untuk mengurangi angka positif orang yang terpapar Covid 19, hal ini juga berdampak kepada bisnis perusahaan. Dampaknya adalah konsumsi dan daya beli menurun; pendapatan total menurun; dan juga laba total bersih yang akan diterima perusahan menurun. Untuk itu, penurunan ini juga akan diikuti oleh rencana efisiensi pada pos-pos yang dianggap bisa diintervensi oleh perusahaan agar mengurangi beban operasional, yang salah satunya adalah beban sumber daya manusia (SDM).
Beberapa perusahaan melakukan penyesuaian pada beban operasional dan SDM dengan meniadakan tunjangan transportasi untuk mereka yang bekerja di rumah (work from home/WFH), mengurangi biaya variabel, uang makan misalnya—untuk mereka yang WFH, mengurangi tunjangan-tunjangan yang sifatnya variable: (misalnya pulsa telepon). Bahkan, beberapa perusahaan memangkas tenaga kerja waktu tertentu (PKWT) yang habis masa kontraknya untuk tidak diperpanjang. Jika terus berlangsung, bisa jadi perusahaan juga akan mengurangi karyawan berstatus perjanjian kerja waktu tidak tentu (PKWTT) atau karyawan tetap.
Hal ini juga terjadi di tempat saya bekerja. Pandemi memaksa perusahaan merestrukturisasi organisasi dari delapan kadiv menjadi enam kadiv dan dua divisi rencananya akan dilebur. Peleburan ini berkaitan dengan dampak Covid-19. Satu orang kadiv pun mengundurkan diri karena long distance relationship—keluarga jauh di Sumatera dan ia bekerja di Jakarta. Wanita biasanya dituntut menjadi ibu rumah tangga. Adapun kadiv yang satunya lagi adalah karyawan PKWT yang akan habis masa kontraknya. Jadi, momentum di lingkungan internal ini disesuaikan dengan pandemi Covid-19 yang di luar kontrol perusahaan.
Assessment test merupakan jalan terbaik memastikan proses restrukturisasi tetap bisa berjalan; dengan menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat. Calon pemimpin dilihat kemampuan manajerial mereka, soft compentecy-nya. Kompetensi yang diukur dalam pelaksanaan asesmen ini adalah soft competency, yaitu kompetensi inti, kompetensi manajerial, dan leadership competency. Umumnya kompetensi inti diambil dari visi, misi, atau nilai-nilai budaya perusahaan.
Dari hasil interview awal pihak perusahaan dan konsultan, ada 13 kompetensi yang akan diukur kesesuaiannya antara jabatan yang akan diemban dan kompetensi yang dimiliki bersangkutan.
Pendekatan yang dilakukan dalam asesmen ini adalah studi kasus, assignment, interview, dan simulasi proses coaching. Karena di Jakarta masih berlangsung PSBB transisi, disepakati proses asesmen dilakukan secara daring/online.
Setelah menjalani dua hari assessment tersebut, pada hari keduanya, para peserta mengikuti pendekatan role-play—proses coaching. Saya kaget juga sih, melihat ada roleplay coaching ini.
Saya pun berpikir proses coaching ini harus dilakukan dengan baik dan memenuhi kaidah coaching competency dari International Coach Federation (ICF).
Sudah lama sekali saya tidak mengikuti proses assessment untuk talent pool. Jadi, agak sedikit kaget ketika pada proses simulasi roleplay tersebut harus benar-benar melakukan coaching di sana. Secara virtual melalui media Zoom Meeting, proses coaching dilakukan dengan seorang coachee dan dibantu seorang observer. Saya jadi ingat tiga tahun lalu belajar ilmu coaching di Loop dengan media Zoom Meeting.
Pada assessment yang sedang saya jalani ini, kami membaca studi kasus yang diceritakan dalam pengantar bacaan simulasi: ketika ada seorang karyawan dengan profil dan permasalahannya.
Kemudian, peserta asesmen (assessee) selanjutnya diminta untuk melakukan coaching terhadap karyawan tersebut. Bayangkan jika para kadiv tersebut belum pernah melakukan proses coaching dengan kompetensi standar seorang coach, bisa saja percakapan yang dilakukan saat roleplay tersebut adalah percakapan atasan dan bawahan berupa pujian, kritik, atau arahan.
Dulu waktu mengambil sertifikasi coaching di Loop Indonesia untungnya saya pernah diajarkan oleh mentor saya di sana, Kak Kurnia Siregar dan Kak Ina Rizqie Amalia. Saya mengambil program sertifikasi corporate coach saat itu. Bekal corporate coach inilah yang saya gunakan untuk melakukan proses coaching di perusahaan tempat saya berkerja.
Namun, sejak dua tahun ini, tools coaching sudah jarang saya gunakan. Saya sudah tidak pernah lagi melakukan coaching exposure kepada orang lain ataupun tim di SDM. Proses assessment test untuk talent pool dan strukturisasi organisasi yang dilakukan bersama konsultan ini membuat saya menyadari bahwa seorang leader harus memiliki kompetensi sebagai seorang coach. Di samping itu, leader harus memiliki kemampuan lain
berupa:
- Leader as a trainer, yaitu kemampuan pemimpin dalam mentransfer pengetahuan yang ia miliki, baik soft competency maupun technical competency, kepada subordinatnya.
- Leader sebagai supervisor, yaitu kemampuan leader untuk mengawasi pekerjaan yang diberikan kepada bawahannya.
- Leader as a mentor, yaitu kemampuan pemimpin membimbing bawahan agar menyamai kualitasnya dan mencapai tujuan
diharapkan. - Leader as coach, yaitu kemampuan seorang pemimpin untuk mampu menemu-kenali potensi bawahannya dalam mencapai tujuan
yang diharapkan.
Nah, peran leader as a coach inilah yang membutuhkan proses coaching dan kompetensi yang harus dimiliki seorang coach. Sewaktu sertifikasi corporate coach di Loop, kami diajari sebelas kompetensi seorang coach.
Jadi, proses dan kompetensi coaching-nya jelas, bukan asal-asalan. Melihat proses assessment competency yang dilakukan oleh konsultan tadi, kemampuan coaching seorang leader merupakan keharusan—mandatory. Setidaknya menurut ICF ada 11 kompetensi yang harus disiapkan oleh calon leader agar memiliki kemampuan seorang coach, yaitu:
- Memenuhi Pedoman Etis dan Standar Profesional
- Menetapkan Persetujuan Coaching
- Membangun Kepercayaan dan Keakraban dengan Klien
- Kehadiran Coach
- Mendengarkan Aktif
- Membuat Pertanyaan Dahsyat
- Komunikasi Langsung
- Membangkitkan Kesadaran
- Mendesain Tindakan
- Membuat Perencanaan dan Penetapan Sasaran
- Mengelola Kemajuan dan Pertanggungjawaban
Kesebelas kompetensi ini kemudian diperbarui oleh ICF menjadi delapan kompetensi inti yang harus dimiliki seorang coach, yaitu: 1) menunjukkan praktik etis, 2) mewujudkan pola pikir pembinaan, 3) menetapkan dan memelihara perjanjian, 4) menumbuhkan kepercayaan dan keamanan, 5) mempertahankan kehadiran, 6) mendengarkan aktif, 7) mempertahankan kehadiran, dan 8) memfasilitasi pertumbuhan klien.
Seorang leader harus menjadikan proses coaching ini sebagai tools untuk mengembangkan potensi diri subordinatnya, tidak lagi main tunjuk untuk mengarahkan bawahan. Akan tetapi, pemimpin harus mengarahkan bawahannya sesuai dengan potensi diri dan peta jalan yang ingin dicapai oleh ia dan bawahan sendiri.
Sumber: https://coachfederation.org/app/uploads/2019/11/ICFCompetencyModel_Oct2019.pdf