“Mengapa para penumpang di gerbong kereta api Jakarta–Surabaya tidak membaca novel, tapi menguap dan tertidur miring? Mengapa di dalam angkot di Brebes, Tegal, penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok? Mengapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya, tapi bermain gaple? Kenapa di kapal Makassar–Banda Naira penumpang tidak membaca kumpulan buku puisi, tapi bermain domino? Kenapa susah mendapat calon pegawai tamatan S-1 yang mampu menulis proposal bagus atau rencana kerja yang baik? Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Cirebon pengantar pasien tidak membaca buku drama, tapi asyik bermain SMS? Mengapa jumlah total pengarang di Indonesia hanya cocok untuk negara berpenduduk 20 juta, bukan 200 juta?” ~Taufiq Ismail
Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Pengalaman yang bisa dijadikan pelajaran tentunya, pelajaran untuk memperbaiki diri atas apa pun yang sudah diperbuat. Di sanalah kita “membaca” kejadian-kejadian yang dialami sebagai bacaan kehidupan: baik atau buruk, harus ada pembenahan diri untuk lebih baik lagi. Pengalaman-pengalaman berharga itu dapat dijadikan teman baik yang arif. Pengalaman bisa diperoleh dari “jalan” hidup diri sendiri ataupun cerita orang lain.
Masih ingat berita pengendara minibus yang sehabis ”pesta” ekstasi dan minuman keras menyeruduk dan menyebabkan sembilan orang tewas di bilangan Tugu Tani, akhir Januari 2012 lalu? Kenikmatan semu akan berbuah sengsara berkepanjangan. Pelajaran berharga ini tidak akan didapatkan pada sekolah formal apa pun. Itulah “buku” kehidupan yang bisa kita petik pelajarannya.
Sebaliknya, dalam cerita keberhasilan Tukul Arwana, host “[Bukan] Empat Mata”, dapat dengan jelas kita lihat bahwa kerja keras, semangat juang tinggi, upaya yang gigih dan pantang menyerah dapat mengkristal menjadi “kesuksesan” yang bisa “dibaca” setiap hari di salah satu stasiun TV. Tanda baik yang bisa kita petik dan pelajari dari perjalanan karier Tukul adalah: ia telah menginvestasikan waktu bekerja untuk dengan ulet mencapai cita-citanya. Setiap detik digunakan untuk hal ihwal bermanfaat yang akhirnya akan berbuah kenikmatan. Itulah buku baik kehidupan.
Buku kehidupan yang lain adalah pelajaran yang dapat diambil di sekitar kita. Musibah banjir di lingkungan kita bisa jadi akibat penggundulan hutan atau ulah manusia membuang sampah sembarangan. Berarti kita telah membaca bahwa cara-cara tidak baik, seperti penebangan liar, pembalakan hutan, dan membuang sampah tidak pada tempatnya akan menyebabkan banjir dalam jangka panjang. Karena kita belajar dari “buku alam”, upaya yang harus dilakukan adalah lebih arif terhadap bumi, melakukan penanaman pohon, dan ramah terhadap lingkungan. Semua kejadian adalah “bacaan” kehidupan agar manusia mampu berpikir dan berbuat baik. Semua bacaan tersebut tersirat, yang kaya makna pembelajaran.
Belum lagi jika kita lebih peka melihat bacaan kebesaran Ilahi dari proses kehidupan di bumi ini. Ambil contoh saja proses fotosintesis di mana Tuhan telah memperlihatkan “buku” kehidupan lainnya, yaitu “desain” yang mahadahsyat. Tumbuh-tumbuhan menggunakan air, karbon dioksida, dan cahaya matahari untuk kehidupan, lalu menyintesisnya menjadi oksigen dan glukosa. Karbon dioksida yang diembuskan miliaran umat manusia digunakan tumbuhan untuk berfotosintesis. Kemudian sebaliknya, manusia memanfaatkan oksigen hasil fotosintesis untuk bernapas dan hidup. Bukankah ini buku pelajaran yang mahatinggi? Mengingatkan kita untuk seharusnya tetap merawat dengan baik tanaman di bumi ini dan mensyukuri nikmat Tuhan.
Membaca merupakan jendela ilmu. Banyak informasi dan pengetahuan yang didapatkan dari membaca. Dari bacaan itu juga tersedia jutaan referensi tentang banyak hal, menyangkut kehidupan manusia. Kehidupan ini begitu “indah” dan tidak semua orang bisa memahami eloknya kehidupan. Ini hanya bisa dilakukan orang-orang yang mampu membaca “kehidupan” dan mempelajari kehidupan dari pengalaman orang lain, dan melukiskannya ke dalam gambar indah kehidupan. Dari goresan kuas pada kanvas dan “warna” dalam hari-hari kehidupan, menjadi bagian indah yang mengisi kehidupan ini agar lebih berarti.
“Membaca adalah jendela dunia.” Untuk membuka dunia itu maka bacalah buku yang bersumber dari hal-hal terbaik. Membaca bisa bermakna denotasi, yaitu membaca buku-buku sesungguhnya yang kita dapatkan pada pendidikan formal, seperti buku pelajaran. Ada kalanya kita membaca buku-buku di luar pendidikan formal untuk meningkatkan kompetensi diri: buku-buku motivasi, pengembangan diri, bahkan majalah, koran, atau tabloid.
Suherman dalam bukunya Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban menyatakan, “Selain mengandung banyak manfaat yang melimpah ruah dan merupakan kebanggaan besar, buku adalah harta yang paling mulia dan keindahan yang paling berharga. Buku adalah teman duduk yang paling setia, pelipur yang paling menyenangkan, dan teman keluh kesah yang paling bisa dipercaya.” Buku yang dibaca bagaikan air yang diminum untuk pelepas dahaga. Selain menghilangkan rasa dahaga, air juga menyehatkan raga.
Membaca juga bermakna konotasi, yaitu kita melihat segala sesuatu yang terjadi, sebagai “bacaan” kehidupan agar kita bisa berperilaku lebih baik. Kejadian-kejadian ini merupakan referensi kebesaran Tuhan, yang telah ditulis-Nya, di dalam perjalanan hidup manusia, agar manusia mampu berpikir dan berbuat baik.
Membaca buku-buku atau mempelajari kejadian alam yang sudah ditakdirkan Tuhan dapat menjadi ilmu yang bermanfaat, menjadi referensi kehidupan untuk berbuat lebih baik. Membaca memberikan “energi” dan kekuatan yang memperkaya diri. Membaca adalah cara kita mempelajari sesuatu, agar pikiran kita tetap “muda”, tetap segar, dan terbarukan.
Kisah Lintang di tengah perjuangan hidup dalam kemiskinan, pada novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, menorehkan kesadaran akan pentingnya membaca. Pesannya, “Belajar adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat dan kesulitan hidup. Buku baginya adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberikan kekuatan baru agar ia mampu mengayuh sepeda menentang angin setiap hari. Jika berhadapan dengan buku, ia akan terisap oleh kalimat ilmu yang dibacanya, ia tergoda oleh sayap-sayap kata yang diucapkan oleh para cerdik cendikia.”
Membaca Buku: Sumber Kekuatan Menulis
Buku adalah sumber ilmu dan amunisi kreativitas dalam kepala kita, yang bisa dijadikan senjata untuk membuat sebuah tulisan kaya makna. Seorang profesional pemasaran yang kaya akan pengalaman penjualan dan pemasaran, seperti pengalaman dalam penyusunan harga, kegiatan promosi, distribusi produk, maupun manajemen merek, dapat membagi pengalamannya kepada orang lain lewat tulisan. Kekayaan pengalaman tersebut akan lebih “kokoh” jika didukung referensi buku-buku pemasaran yang ia pelajari. Pemasar ini, setidaknya, pernah membaca buku-buku karya Philp Kotler, Rhenald Kasali, ataupun Hermawan Kartajaya. Pegiat sastra dan penulis produktif sebesar Helvy Tiana Rosa, setidaknya juga pernah membaca buku-buku yang ditulis Gorys Keraf, Ismail Marahimin, ataupun Jakob Sumardjo. Buku-buku yang kita baca memberikan kekuatan dan tenaga dalam untuk mendukung proses penulisan.
Sebagai sumber ilmu, banyak hal yang dapat digali dari sebuah buku. Tetapi, tidak banyak dari kita yang memanfaatkannya sebagai “jembatan” untuk menuju dunia yang lebih baik, menjadi manusia pembelajar. Dengan membaca, pengetahuan seseorang akan bertambah. Untuk itu, bacalah! Tapi, tidak banyak dari kita yang menyempatkan diri untuk membaca! Alasan klasik yang sering muncul adalah sibuk, banyak pekerjaan, tidak ada waktu, atau capek. Padahal, dengan membaca kita akan menajamkan pikiran agar mampu memahami banyak hal dalam kehidupan.
Dengan membaca, ilmu kita bertambah. Ilmu adalah harta tidak berwujud (intangible asset). Kita tidak pernah khawatir ilmu akan dicuri, dipinjam, dan digunakan orang lain. Kita tidak akan pernah “marah” jika tulisan atau pesan bijak kita dikutip dan digunakan orang lain. Bahkan, kita akan bangga jika kita melihat orang lain memanfaatkan ilmu kita.Tidak seperti harta berbentuk fisik lainnya, rumah, mobil, tanah, emas, intan berlian, suatu saat bisa dengan mudah hilang dan meninggalkan kita begitu saja. Jika dipinjam dan dipakai orang lain pun, barang itu jarang bisa kembali, bahkan tidak pernah kembali lagi. Tetapi, ilmu yang bermanfaat akan sangat berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Ketika “harta” ilmu itu sudah bertambah dan menggunung, saatnyalah kita “bersedekah” ilmu melalui tulisan
Membaca buku-buku, baik buku dalam arti sesungguhnya—buku pelajaran—maupun buku “kehidupan” yang didapat dari pelajaran “alam”, dapat memercikkan gagasan, ide, dan bahan untuk bekal menulis.
Kita dapat mendulang ilmu lewat membaca dan menuai hasil dari pesan yang bisa diserap. Dengan demikian, penulis memiliki banyak bahan yang dapat diracik dari buku yang dibaca, untuk kemudian dituangkan kembali ke dalam tulisan. Setidaknya, nanti di tengah atau akhir tulisan, Anda akan memperkaya kembali tulisan yang sedang dikerjakan, dengan membaca buku-buku referensi yang sesuai.
Seperti yang kulakukan saat menulis buku ini, setidaknya telah puluhan buku yang kubaca agar dapat memperdalam bobot buku yang kutulis ini.
Learn as much by writing as by reading.~ Lord Acton