Gratitude makes sense of our past, brings peace for today, and creates a vision for tomorrow. – Melody Beattie
Berapa harga satu kaleng oksigen ukuran 0,5 liter di apotek atau toko alat kesehatan? Yach, 45 ribu rupiah atau 90 ribu rupiah per liter.
Coba bandingkan dan konversikan berapa rata-rata kita menghirup udara dalam sehari jika oksigen sudah dikomersialisasikan Tuhan? Mampukah kita membayarnya dengan uang? Jika tidak, maka syukurilah hidup dan gantilah kesemua—nikmat oksegen—gratis itu dengan kebaikan, sebagai penggantinya.
Manusia rata-rata menghirup udara sebanyak 11—12 ribu liter udara per hari, dari udara tersebut kira-kira 2.200 liternya adalah oksigen. Jadi, jika dirupiahkan, setiap hari manusia menghirup udara senilai Rp198 juta, atau 5,9 miliyar rupiah per bulan, atau 71,2 miliyar rupiah per tahun.
Coba, jumlah tersebut dikalikan dengan usia kita saat ini? Berapa banyak Tuhan sudah memberikan kebaikan kepada manusia?
Oksigen adalah nikmat yang Tuhan berikan “gratis” kepada kita. Maka, tidakkah kita harusnya tak henti-hentinya selalu bersyukur!
Pada tahun 2015 untuk pertama kalinya saya melihat video unggahan BBC Indonesia di kanal Youtube, Akshansh Gupta, penderita “cerebral palsy” jadi doktor. Waktu itu, saya masih berada di tahun pertama kuliah doktoral pada Universitas Negeri Jakarta mengambil program Ilmu Manajemen—Manajemen Simber Daya Manusia.
Sebagai trainer dan motivator—video tersebut untuk kemudian sering saya perlihatkan kepada karyawan, di tempat saya bekerja, saat program initial training karyawan baru. Saya memberikan materi training Mantra: The Best Version of You—yang kemudian materi pelatihan tersebut saya jadikan buku Mantra: The Power of Words (Gramedia, 2017).
Video Gupta sungguh menggugah hati, Ia terkena cerebral palsy atau lumpuh otak yaitu penyakit yang menyebabkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh. Sejak lahir Gupta mengalami kelainan fisik namun semangatnya sangat tinggi dan persistensinya sangat tangguh, dengan segala keterbatasannya, Ia mampu menyelesaikan pendidikan doktornya di bidang brain and computer interface, di usia 32 tahun.
Vidoe ini yang menyemangati saya, membuat saya selalu bersyukur diberikan nikmat sehat—terlahir sempurna. Video ini juga yang telah membulatkan tekat saya agar dapat menyelesaikan pendidikan doktoral, Kalau saja Gupta mampu menyelesaikan studi dengan keterbatasan fisik di bidang ilmu komputer, masa sich, saya yang hanya mempelajari ilmu manajemen sumber daya manusia tidak mampu? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak, “Alangkah ketidak-bersyukurnya saya dengan nikmat sempurna ini. Lalai dan tidak mau menyelesaikan studi doktorl saya”, pikirku waktu itu.
Saya bersyukur mendapatkan video ini di media sosial: Youtube, dan selalu memutarnya jika batin saya melemah.
Emmons & McCullough, 2003 dalam tulisannya menyatakan bersyukur diaktualisasikan dalam keadaan: 1) seseorang telah mencapai hasil yang positif, dan 2) bahwa hasil positif tersebut berasal dari sumber eksternal. Emmons dan McCullough mengemukakan bahwa bersyukur diekspresikan ketika seseorang mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, namun sebaiknya rasa syukur itu dilakukan dalam situasi apapun juga, baik suka maupun duka, baik sedih ataupun bahagia, baik dalam keadaan sulit, maupun dalam kemudahan.
Menjaga Syukur
Bersyukur bukan hanya sekadar mengucapkan kata “terima kasih”. Bersyukur adalah sebuah perasaan hati. Sebagian kita merasa bersyukur ketika mendapatkah pencapaian positif, sebaliknya jika mendapatkan cobaan, ujian, kekurangan banyak hal—maka, dari kita menjadi kufur: tidak pandai bersyukur.
Sejatinya, Tuhan telah menciptakan kita sebagai mahluk yang terbaik (ahsani taqwim). Tengok kembali Gupta, ketika terlahir ia mengalami keterbatasan fisik, namun dengan kesungguhannya berusaha, maka bisa melakukannya, menggapai cita-cita menyelesaikan pendidikan doktoralnya.
Bersyukur itu tentang bagaimana kita menyingkap masa depan yang masih ditutup Tuhan untuk kita buka dengan usaha dan ikhtiar guna mecapai kesuksesan. Bayangkan jika sang Pencipta secara dini telah membukakan tabir masa depan kita; maka bagi mereka yang telah melihat bahwa dirinya sukses, maka ia akan bahagia di awal. Sebaliknya, bagi mereka yang masa depannya telah terlihat suram, maka Ia akan membenci Tuhannya, yang tidak adil.
Rasa syukur membuat kita berdamai dengan masa lalu, baik yang hasilnya positif maupun hasilnya belum terasa baik, lalu dengan pencapaian hari ini, maka bersyukur membawa ketenangan di hati, mengikhlaskan apapun yang telah terjadi hari ini; untuk kemudian rasa syukur itu membulatkan tekat kita untuk berusaha mencapai masa depan yang lebih baik.
Bersyukur adalah Ciri Pemimpin Cendekia
Peribadi yang bersyukur—menurut Armenta, Fritz, dan Lyubomirsky (2017)—dapat menuju perbaikan diri dan perubahan positif pada dirinya, dengan sering bersyukur dapat meningkatkan perbaikan diri melalui 4 tahap (lihat gambar 2), yaitu pertama meningkatkan keterhubungan dengan orang lain (connectiveness), 2) ketergerakkan untuk meninggikan kebaikan. 3) meningkatkan kerendahan hati (humility), 4) “dendam” kebaikan untuk menolong orang lain.
Meningkatakan keterhubungan (increasing connectiveness). Meningkatkan keterhubungan kita dengan orang lain. Rasa syukur membuat kita lebih ingin mendekatkan interaksi jarak sosial kita dengan orang lain—dalam konteks berbagi (sharing). Keterhubungan kita dengan orang lain ini memainkan peran kunci dalam motivasi dan perbaikan diri (self improvement).
Meninggikan kebaikan (increasing elevation). Adanya rasa positif (positive emotion) berupa ‘kehangatan’ di dada untuk menerima orang lain dan keinginan untuk membantu orang lain dan menjadi orang yang lebih baik, dan perasaan tergerak, terangkat (uplifted), dan terinspirasi untuk meniru perbuatan baik orang lain.
Miningkatakan kerendahan hati (humility). Besyukur membuat kita rendah hati yaitu kemampuan kita untuk melihat kelebihan dan kelemahan seseorang secara akurat, terbuka terhadap umpan balik, dan memiliki keinginan untuk memperbaiki diri. Kerendahan hati dapat mendorong individu untuk terlibat dalam perilaku positif, seperti membantu orang lain dan memiliki rasa kedermawanan yang baik.
Rasa bersyukur memunculkan “ketidaknyaman” diri berupa perasaan berutang, tidak nyaman, dan bersalah—menyadari bahwa kesuksesan diri tidak sepenuhnya milik pribadi—karena ada peran, andil, dan bantuan orang lain—sehingga muncul dorongan atau ‘dendam’ dalam diri untuk membantu orang lain.