“Bukan lautan hanya kolam susu; Kail dan jala cukup menghidupmu; Tiada badai tiada topan kau temui; Ikan dan udang menghampiri dirimu…Orang bilang tanah kita tanah surga; Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Penggalan bait di atas merupakan salah satu lirik lagu Koes Plus dengan judul “Kolam Susu” yang populer dinyanyikan di era tahun 1973-an. Hingga saat ini, lagu itu pun masih tetap terasa renyah dilantunkan sembari menatap negeri ini yang subur makmur.
Kolam susu yang dimaksudkan Koes Plus bukanlah kolam “hampa” belaka: tidaklah imajiner. Karena, di negeri ini begitu banyak danau-danau luas yang berisi kekayaan perairan: ikan, udang, dan hamparan pemandangan indah. Belum lagi hamparan landang subur di mana “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Cobalah tenggok batang singkong yang ditanam, ditancapkan begitu saja di tanah kelak batang singkong itu akan muncul daun dan umbi. Belum lagi biji-bijian seperti “batu” yang disebut Koes Plus: biji kemiri, biji pala atau biji asam jawa. Walaupun sekeras batu, namun tetap lunak dan berkecambah di negeri kita yang subur makmur ini.
Namun sayangnya, kita masih belum melihat hamparan bumi negeri ini dengan penuh suka cita, penuh semangat untuk diusahakan. Apa daya, di antara hamparan hijau pepohonan dan suburnya tanah negeri ini, tetap saja masih banyak penduduk yang miskin. Sebuah pepatah mengatakan “Terjunkanlah” dirimu ke lumbung padi dengan hati penuh putus asa, maka tak lama kau akan mati. Berlarilah ke padang ilalang dengan penuh semangat dan suka cita, kelak ia akan menjadi hamparan ‘kebun’”. Yang dibutuhkan negeri ini adalah orang-orang yang penuh semangat dan suka cita.
Isi hati terlalu banyak sikap pesimis. Keluhan merupakan sahabat yang mencintai dan mendekap agar kita tidak dapat melangkah maju. Mengeluh hanya membuat kita berhenti berkarya, takut melangkah, dan selalu berpikir pesimis. Kata-kata dalam keluhan biasanya bersifat negatif dan melemahkan batin untuk kita membuka “jalan setapak” kesuksesan.
Sebuat cerita tentang jalan ilalang, bisa menjadi renungan. Langkah pertama pada padang ilalang hanyalah membuat ilalang merunduk. Langkah pertama ini tidaklah mudah, perdu dan ilalang di sekitar padang akan membuat kaki kita luka tergores daun ilalang yang tajam, atau tubuh kita kotor karena bunga ilalang yang menempel di baju atau celana. Belum lagi tidak adanya jalan setapak yang membuat batin kita kembali mengeluh, “Akankah saya tiba di ujung kebun ilalang?”, “Apakah saya nanti bisa tersesat?” Lalu apakah kita berhenti di hari pertama perjalanan? Katakan “Tidak! Dengan kesabaran, kita akan segera melihat bentuk asli kesuksesan.”
Sikap positif membulatkan batin kita, bahwa bunga ilalang yang menempel adalah “keindahan” yang turut mewarnai derap langkah kita menuju ujung perjalanan menyenangkan, ia tidak mengotori, tetapi turut ‘menari” dan menemai derap langkah. Juga luka sayatan daun ilalang di lengan mengingatkan kita bahwa perjalanan panjang yang dilalui membutuhkan usaha sungguh-sungguh dan kehati-hatian, lalu kembali batin kita berdoa agar usaha yang dilakukan tetap berada pada kerelaan-Nya untuk segera menemukan ujung jalan keberhasilan.
Langkah “kedua” di hari berikutnya akan membuat ilalang rebah, tubuh kita tidak lagi kotor dengan bunga ilalang. Langkah kita semakin mudah karena kita telah membuka jalan setapak hari kemarin yang telah menuntun kita agar mudah tiba di ujung perjalanan. Mungkin, hanya ada sedikit luka akibat akar ilalang atau tersandung bongkahan tanah yang mulai mengeras.
Langkah “ketiga” di hari berikutnya akan membuat padang ilalang yang dilalui telah menjadi jalan setapak. Lalu jalan setapak inilah yang terus kita lalui, yang juga mungkin diikuti orang lain, dan banyak orang lainnya. Maka jalan setapak ini kelak kemudian akan menjadi sebuah jalan raya.
Seperti juga jalan kehidupan, ia harus dilalui agar nanti dapat menemukan kesuksesan. Coba bayangkan jika kita mengeluh di hari pertama, karena tidak ada jalan setapak di padang ilalang tersebut, lalu kita kembali karena batin penuh dengan keluhan atau mengurungkan niat dan membiarkan orang lain yang melangkah. Jalan raya tadi pastilah tidak ada. Dan kita tetap melihat padang ilalang yang membentang, tanpa tahu bahwa di balik ilalang tersebut adalah tempat yang sungguh menyenangkan.
Batin yang mengeluh, “Saya dari keluarga miskin, tidak ada modal, mana mungkin saya bisa berwirausaha!” atau “Saya berpendidikan rendah, tidak mengantungi gelar sarjana, mana mungkin saya bisa mendapatkan pekerjaan!” Kata-kata ini selalu saja melemahkan batin kita untuk optimis menjemput kesuksesan hidup. Padahal optimisme yang ‘terucap’ adalah ‘mantra’ yang mendorong agar batin kita ‘membatu’, keras menghadapi setiap kesulitan yang terjadi. Batin yang terus yakin atas setiap doa dan usaha yang dilakukan akan berhasil jika dijalankan dengan sunguh-sungguh.
Mantra: perkataan atau ucapan yang menguatkan hati; atau susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yg dianggap mengandung kekuatan mendorong “diri”. Kita harus memiliki “mantra” agar batin kita menguat. “Mantra” ini dapat di-recall, dipanggil ulang, dan diucapkan terus-menerus di saat kita melemah, loyo, dan tidak bersemangat. Mantra dapat bersumber dari kitab suci, ayat-ayat, kata-kata bijak, atau kutipan yang menyemangati.
Motivator Nomor 1 Indonesia sering mengatakan: “Success is my right”, adalah sebauh kekuatan ucapan/“mantra” yang mampu menggerakan dirinya dan orang lain untuk gigih mencapai kesuksesan, karena sukses milik siapa saja yang mau berusaha. A Fuadi, penulis buku Negeri 5 Menara memopulerkan, “Siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan berhasil” adalah “mantra” yang menyemangatinya untuk terus belajar hingga Benua Eropa.
“Mantra” yang kita ucapkan haruslah berdampak positif, membuat kita berdaya untuk melangkah maju, menguatkan batin yang melemah, menimbulkan rasa percaya diri, dan penuh suka cita untuk menjalankan apa yang dicita-citakan. Sudahkah kita mengubah batin yang mengeluh menjadi “mantra” yang menguatkan? Semoga!